Jumat, 24 Desember 2010

Setitik Maaf Buat Bapak

malam-malam aku sendiri.... di kamar, Rara pulkam mungkin besok baru balik ke Makassar. Lagi asyik2x nyantap masakanku telpon berdering. “siapa lagi sih? Ganggu aja” ku lihat layar hp, hmmm no baru. “nox anak flora kali” gumamaku,
“halo”
“ini, mega ya?” terdengar suara wanita dari seberang sana
“iya, knp?” jawabku.
“ini bapakmu mau bicara, boleh?”
Mendengar nama bapak disebut, perasaan ku jadi nggak enak.
“emangnya ini siapa?”
“saya istrinya bapakmu di kalimantan, bisakah bapak mu bicara?” what?! istri bapak? ibu tiri donk. huhh berani2x dia menelponku.
“mana coba?” Aku penasaran juga.
“assalamualaykum” suara itu begitu asing di telingaku.
“waalaykum salam”
“mega bagaimana kabarmu nak”
“baik”
“sudah selesai sekolahmu ?”
“sudah”
“bapak minta maaf sudah ninggalin kalian”
“ini bapak ku betul kah?”
“iya ini bapa, nak. Kamu ndak kenal kah suaranya bapak?”
“sudah lupa” kataku sembari menggigit bibir. Tak dapat kubendung air mata ku kini. setega itu kah aku pada bapakku. tapi itulah kenyataannya. aku sama sekali lupa dengan suaranya.
“iya, nggak papa. Bapak tau bapak yang salah. Sudah lama ninggalin kamu”
“kenapa baru telpon sekarang?”
“bapak baru dapat nomor kamu,nak. Sudah cari kemana-mana, bahkan ayu dan mamamu ndak mau ngasih, adekmu ilham juga ndak mau bicara sama bapak.”
Tentu saja mama marah, bayangkan setelah bercerai dengan mama, papa pergi begitu saja, tanpa pernah memberikan nafkah sepeser pun kepada anak-anaknya. Itu terjadi sekitar 12 tahun yang lalu, ketika itu usiaku baru menginjak 10 tahun, Ilham 6 tahun dan Ayu 2 tahun. Kami masih kecil. Mama waktu itu belum jadi guru. Beliau melakukan apa saja untuk bisa menafkahi kami. Berusaha sekuat tenaga agar anak2nya bisa makan dan sekolah. bahkan Ayu sempat dititip di saudara jauhnya mama supaya bisa hidup layak dan sekolah. Aku ingat mama pernah jadi penjual pecel di sd tempatku sekolah, juga pernah membantu orang memotong padi, bahkan pernah berdagang kelapa, pisang dan jeruk sampai ke makassar. Selain mebiayai aku dan adik mama juga membiayai adik bungsunya yang justru kini tidak memperdulikan mamaku.
Nah saat semua sudah membaik, bapak muncul lagi di kehidupan kami. Apa yang harus ku lakukan? Marah? Bahagia? Dan berkata pada dunia “dengarlah ayahku menelpon dan meminta maaf padaku? Begitukah? Ntahlah aku bingung. Aku tak pernah merindukanya, tak pernah mengharapkannya. Kadang aku malah berpikir orang tua ku hanya mama seorang. Aku tidak peduli dengan kepergiannya, toh waktu masih bersamanya aku tak pernah merasakan kasih sayang bapak. Jadi ada atau pun tiada itu sama saja,. Aku justru bahagia tanpa nya. Sungguh….
Dia bertanya tentang sekolah ku “sudah selesai kuliahmu?”
“sudah” inginnya kusambung (itu semua atas perjuangan mama dan tanpa bantuan sedikitpun darimu, pak)
Bapak meminta maaf, dia terima jika kami semua marah dan mencaci maki nya, dia terima karena ini memang kesalahannya, inginnya aku tertawa. “begitu mudahkah meminta maaf atas kesalahan sekian tahun yang kau lakukan. Menikah dan membiayai 4 orang anak tiri dan melupakan kami begitu saja. dan begitu keadaan membaik, kau kembali mengusik ketenangan kami, merasa tanggungjawabmu sudah purna. Hhhehh. Hebat!
Memakimu? untuk apa? tidak puaskah kau meninggalkan kami dan kini menyuruh kami melakukan dosa dengan memakimu. aku tak akan melakukannya, tidak. setidaknya tidak secara langsung. Mama tak pernah mengajari kami membencimu. tapi kerasnya perjuangan yang dilakukan mama untuk kami, membuat kami lupa bahwa kami punya ayah.
Mudah saja memafkannya. Bagi ku tak ada bedanya memafkan atau pun tidak. Bagaimanapun juga, sebagai anak aku masih wajib memperlakukan bapak dengan baik. Iya kan, Pak! lagi pula aku tak ingin membuatnya terus merasa bersalah. itu tak kan mendatangkan keuntungan bagiku. malah dosa yang kudapat.
Aku menunggu telpon di tutup. Ingin rasanya megakhiri sambungan ini. Aku sudah tidak tahan. air mata ku terus saja mengalir. bukan air mata haru, tapi air mata kekesalan dan kemarahan.
“ya sudah, hati-hati kamu disitu nak yah…”
“iya, bapak juga hidup baik-baik saja di situ”
“assalamu’alaykum”
“wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh”
Aneh rasanya mendengar bapak bicara baik-baik dan lembut kepadaku. Waktu kecil aku tak bahkan sangat jarang berbicara dengannya. tak pernah ku dengar sapaan, “nak” darinya Aku dan bapak seperti orang lain. Sangat aneh bagiku menyebut kata bapak kepadanya. Aneh. Kaku. Unusual. Lebih nyaman ketika menyapa Pak Nurdin dengan sapaan Bapak.
Benarkah aku sudah memaafkannya? Mungkin. Tapi aku tak ingin bertemu dengannya. Aku ingin menjalani hariku just like now, without him.
Ya Allah… mohon berikan aku hati yang bersih, hati yang senantiasa ridha dengan apa yang kau berikan, hati yang senantiasa bisa memafkan kesalahan orang lain. bantulah aku untuk bisa ikhlas memafkan bapak. mungkin hanya ini lah yang bisa membuatnya tenang. akhirnya aku sampai pada suatu keputusan…..


Bapak aku memafkanmu karena Allah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 24 Desember 2010

Setitik Maaf Buat Bapak

malam-malam aku sendiri.... di kamar, Rara pulkam mungkin besok baru balik ke Makassar. Lagi asyik2x nyantap masakanku telpon berdering. “siapa lagi sih? Ganggu aja” ku lihat layar hp, hmmm no baru. “nox anak flora kali” gumamaku,
“halo”
“ini, mega ya?” terdengar suara wanita dari seberang sana
“iya, knp?” jawabku.
“ini bapakmu mau bicara, boleh?”
Mendengar nama bapak disebut, perasaan ku jadi nggak enak.
“emangnya ini siapa?”
“saya istrinya bapakmu di kalimantan, bisakah bapak mu bicara?” what?! istri bapak? ibu tiri donk. huhh berani2x dia menelponku.
“mana coba?” Aku penasaran juga.
“assalamualaykum” suara itu begitu asing di telingaku.
“waalaykum salam”
“mega bagaimana kabarmu nak”
“baik”
“sudah selesai sekolahmu ?”
“sudah”
“bapak minta maaf sudah ninggalin kalian”
“ini bapak ku betul kah?”
“iya ini bapa, nak. Kamu ndak kenal kah suaranya bapak?”
“sudah lupa” kataku sembari menggigit bibir. Tak dapat kubendung air mata ku kini. setega itu kah aku pada bapakku. tapi itulah kenyataannya. aku sama sekali lupa dengan suaranya.
“iya, nggak papa. Bapak tau bapak yang salah. Sudah lama ninggalin kamu”
“kenapa baru telpon sekarang?”
“bapak baru dapat nomor kamu,nak. Sudah cari kemana-mana, bahkan ayu dan mamamu ndak mau ngasih, adekmu ilham juga ndak mau bicara sama bapak.”
Tentu saja mama marah, bayangkan setelah bercerai dengan mama, papa pergi begitu saja, tanpa pernah memberikan nafkah sepeser pun kepada anak-anaknya. Itu terjadi sekitar 12 tahun yang lalu, ketika itu usiaku baru menginjak 10 tahun, Ilham 6 tahun dan Ayu 2 tahun. Kami masih kecil. Mama waktu itu belum jadi guru. Beliau melakukan apa saja untuk bisa menafkahi kami. Berusaha sekuat tenaga agar anak2nya bisa makan dan sekolah. bahkan Ayu sempat dititip di saudara jauhnya mama supaya bisa hidup layak dan sekolah. Aku ingat mama pernah jadi penjual pecel di sd tempatku sekolah, juga pernah membantu orang memotong padi, bahkan pernah berdagang kelapa, pisang dan jeruk sampai ke makassar. Selain mebiayai aku dan adik mama juga membiayai adik bungsunya yang justru kini tidak memperdulikan mamaku.
Nah saat semua sudah membaik, bapak muncul lagi di kehidupan kami. Apa yang harus ku lakukan? Marah? Bahagia? Dan berkata pada dunia “dengarlah ayahku menelpon dan meminta maaf padaku? Begitukah? Ntahlah aku bingung. Aku tak pernah merindukanya, tak pernah mengharapkannya. Kadang aku malah berpikir orang tua ku hanya mama seorang. Aku tidak peduli dengan kepergiannya, toh waktu masih bersamanya aku tak pernah merasakan kasih sayang bapak. Jadi ada atau pun tiada itu sama saja,. Aku justru bahagia tanpa nya. Sungguh….
Dia bertanya tentang sekolah ku “sudah selesai kuliahmu?”
“sudah” inginnya kusambung (itu semua atas perjuangan mama dan tanpa bantuan sedikitpun darimu, pak)
Bapak meminta maaf, dia terima jika kami semua marah dan mencaci maki nya, dia terima karena ini memang kesalahannya, inginnya aku tertawa. “begitu mudahkah meminta maaf atas kesalahan sekian tahun yang kau lakukan. Menikah dan membiayai 4 orang anak tiri dan melupakan kami begitu saja. dan begitu keadaan membaik, kau kembali mengusik ketenangan kami, merasa tanggungjawabmu sudah purna. Hhhehh. Hebat!
Memakimu? untuk apa? tidak puaskah kau meninggalkan kami dan kini menyuruh kami melakukan dosa dengan memakimu. aku tak akan melakukannya, tidak. setidaknya tidak secara langsung. Mama tak pernah mengajari kami membencimu. tapi kerasnya perjuangan yang dilakukan mama untuk kami, membuat kami lupa bahwa kami punya ayah.
Mudah saja memafkannya. Bagi ku tak ada bedanya memafkan atau pun tidak. Bagaimanapun juga, sebagai anak aku masih wajib memperlakukan bapak dengan baik. Iya kan, Pak! lagi pula aku tak ingin membuatnya terus merasa bersalah. itu tak kan mendatangkan keuntungan bagiku. malah dosa yang kudapat.
Aku menunggu telpon di tutup. Ingin rasanya megakhiri sambungan ini. Aku sudah tidak tahan. air mata ku terus saja mengalir. bukan air mata haru, tapi air mata kekesalan dan kemarahan.
“ya sudah, hati-hati kamu disitu nak yah…”
“iya, bapak juga hidup baik-baik saja di situ”
“assalamu’alaykum”
“wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh”
Aneh rasanya mendengar bapak bicara baik-baik dan lembut kepadaku. Waktu kecil aku tak bahkan sangat jarang berbicara dengannya. tak pernah ku dengar sapaan, “nak” darinya Aku dan bapak seperti orang lain. Sangat aneh bagiku menyebut kata bapak kepadanya. Aneh. Kaku. Unusual. Lebih nyaman ketika menyapa Pak Nurdin dengan sapaan Bapak.
Benarkah aku sudah memaafkannya? Mungkin. Tapi aku tak ingin bertemu dengannya. Aku ingin menjalani hariku just like now, without him.
Ya Allah… mohon berikan aku hati yang bersih, hati yang senantiasa ridha dengan apa yang kau berikan, hati yang senantiasa bisa memafkan kesalahan orang lain. bantulah aku untuk bisa ikhlas memafkan bapak. mungkin hanya ini lah yang bisa membuatnya tenang. akhirnya aku sampai pada suatu keputusan…..


Bapak aku memafkanmu karena Allah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar